Dalam agama Islam, adanya ketetapan biasanya memiliki latar belakang. Dan tidak jarang ketetapan itu mengalami perubahan status hukum. Sejarah puasa Asyura menjadi satu ketetapan dalam Islam yang status hukumnya mengalami perubahan.
Jauh sebelum Rasulullah menjadikan puasa Asyura bagian dari agama Islam, masyarakat Arab jahiliyah telah mengenalnya. Bahkan mereka juga terbiasa melakukan puasa pada hari itu. Tetapi setelah Rasulullah menjadikannya bagian dari syariat, pelaksanaan puasa ini pun lebih jelas, dari status hukum hingga caranya.
Lalu bagaimana sejarah puasa ini menjadi bagian dari syariat Islam?
Hari Asyura Dalam Islam

Sebagai hari yang istimewa, ada peristiwa yang menjadi latar belakang hari Asyura. Dalam agama Islam, latar belakang dinilainya hari Asyura sebagai hari istimewa terkait erat dengan peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa ‘Alaihissalam.
Meskipun Rasulullah dan para sahabat telah terbiasa melakukan puasa Asyura, namun semangat mengamalkannya semakin menjadi setelah pertemuan dengan orang Yahudi.
Orang-orang Yahudi melakukan puasa Asyura disebabkan mengikuti Nabi Musa ‘Alaihissalam yang bersyukur karena selamat dari kejaran Fir’aun. Saat mendapatkan informasi ini, maka Rasulullah menekankan bahwa umat Islam lebih berhak melakukannya.
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,
“Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian”. Lalu setelah itu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan umat Islam untuk berpuasa. (HR Muslim)
Dengan istimewanya hari itu, maka sebaiknya umat Islam masa kini juga berpuasa. Dengannya maka seorang muslim bisa meraih keutamaan puasa Asyura.
Bahkan tidak hanya dilakukan sendirian. Lebih baik turut serta mengajak keluarga dan saudara. Bagi yang memiliki anak, puasa sunnah seperti puasa Asyura menjadi cara mengajarkan anak berpuasa yang cukup efektif.
Sejarah Puasa Asyura

Agar lebih memudahkan memahami sejarah puasa Asyura, maka pembahasan akan dijadikan dalam beberapa fase sebagai berikut:
1. Fase Pertama
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, orang Arab Jahiliyah telah terbiasa melakukan puasa Asyura. Dan Rasulullah juga terbiasa melakukan puasa ini ketika di Makkah.
Dalam sebuah riwayat ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menuturkan yang artinya,
“Di masa jahiliyah dahulu orang Quraisy biasa melakukan puasa Asyura. Rasulullah pun melakukan puasa tersebut. Ketika tiba di Madinah beliau melakukan puasa itu dan memerintahkan yang lain turut melakukannya. Tetapi saat puasa Ramadhan diwajibkan beliau meninggalkan puasa Asyura. Beliau berkata, “Barangsiapa yang mau silahkan berpuasa dan barangsiapa yang mau boleh meninggalkannya”. (HR Bukhari)
Dari penjelasan hadits di atas menunjukkan status puasa Asyura pada mulanya statusnya mubah. Hal itu dapat dilihat Rasulullah melakukan puasa namun tidak menganjurkan atau memerintahkan pada para sahabatnya.
2. Fase Kedua
Fase kedua adalah ketika Rasulullah telah berada di Madinah. Ketika tiba disana beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat orang Yahudi melakukan puasa Asyura karena mengikuti Nabi Musa ‘Alaihissalam. Maka beliau pun memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya.
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan yang artinya,
“Ketika di Madinah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan puasa Asyura. Kemudian beliau bertanya, “Hari yang kalian berpuasa ini hari apa?” Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari dimana Musa menyelamatkan Musa dan kaumnya. Saat itu juga Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”. Rasulullah lalu berkata, “Kita seharusnya lebih berhak dan lebih pantas mengikuti Musa daripada kalian”. Lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kaum muslim untuk berpuasa”. (HR Muslim)
Dalam fase kedua ini dapat dipahami bahwa puasa Asyura status hukumnya berubah menjadi wajib. Sebab beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabat untuk melaksanakannya.
Memahami mengajak pada kebaikan berpotensi menjadi pahala yang tiada putus, para sahabat pun menyambut dengan baik. Buktinya mereka juga menyuruh anak-anak kecil untuk ikut serta berpuasa.
3. Fase Ketiga
Pada fase ini adalah ketika adanya kewajiban puasa Ramadhan bagi umat Islam. Dengan adanya satu syariat yang wajib dan berpuasa, tentu berpengaruh terhadap puasa Asyura yang sempat diwajibkan.
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan yang artinya,
“Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah biasa melakukan puasa pada hari Asyura. Rasulullah pun melakukan puasa tersebut sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, begitu pula kaum muslim. Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Asyura adalah hari diantara hari-hari Allah. Barangsiapa yang ingin berpuasa silahkan berpuasa, barangsiapa meninggalkannya juga silahkan”. (HR Muslim)
Melihat penjelasan Rasulullah di atas, menjadikan status hukum puasa Asyura kembali berubah. Yang sebelumnya wajib kembali seperti di masa awal.
4. Fase Keempat
Fase ini menjadi fase terakhir dari sejarah puasa Asyura. Dimana sikap Rasulullah seakan menunjukkan bahwa status puasa ini menjadi sunnah.
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan yang artinya,
“Wahai Rasulullah hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani”. Beliau bersabda, “Apabila tiba tahun depan (Insha Allah), kita akan berpuasa pula pada tanggal sembilan”. Ibnu Abbas berkata, “Belum sampai tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah meninggal dunia”. (HR Muslim)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Rasulullah memiliki cita-cita untuk tetap melakukan puasa Asyura jika hidup. Dengan catatan ditambah satu hari di tanggal sembilan untuk menyelisihi orang Yahudi.
Hal ini menjelaskan puasa Asyura benar-benar penting untuk dilakukan. Selain karena keutamaan tentu ada pahala di dalamnya. Terlebih jika ditambah dengan amalan sedekah, baik secara langsung maupun menggunakan layanan sedekah online. Tentu pahala dan keutamaan yang didapatkan lebih besar lagi.
Bukan Tasyabbuh
Meskipun berkaitan erat dengan Nabi Musa dan juga dilakukan orang Yahudi, puasa Asyura yang dilakukan umat Islam bukanlah tasyabbuh (menyerupai umat lain). Buktinya dalam fase terakhir Rasulullah mempertegas perbedaan dengan keinginan berpuasa pada tanggal sembilan.
Maka bagi yang berencana melakukan puasa Asyura 2023 jangan ada keraguan. Terlebih Imam An-Nawawi dalam Al Minhaj Syarh Muslim 8/11 menjelaskan,
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa melakukan puasa Asyura di MAkkah sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang Quraisy. Kemudian saat tiba di Madinah beliau menemukan orang-orang Yahudi yang melakukan puasa Asyura lalu beliau pun ikut melakukannya. Namun beliau melakukan puasa ini berdasarkan wahyu, berta mutawatir, atau dari ijtihad beliau. Bukan semata-mata berita salah seorang dari mereka (orang Yahudi)”.
Itulah pembahasan tentang sejarah puasa Asyura. Akan lebih lengkap jika amalan puasa diiringin dengan amalan sosial. Baik secara pribadi maupun melalui lembaga seperti Laziskhu.

Puasa adalah amalan horizontal, dimana hanya yang melakukan dan Allah yang tahu. Sedangkan sebagai muslim juga perlu melakukan amalan vertikal agar tercipta kehidupan yang harmonis.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk melaksanakan puasa Asyura. Serta menerima ibadah puasa yang mereka kerjakan.